Demi kebaikan, kami rela untuk bertahan. Tak menampakkan diri beberapa waktu ke depan. Kami sadar, jika kami mengelak, keadaan akan semakin memberontak. maka, demi hal ini, kami rela bersembunyi.
Tak sedikit kawan kami mengeluh akan keadaan. Merasa bosan dan tertekan di tengah himpitan paksaan. Kami ingin bebas, kami ingin lepas.
Masih seputar wabah, semakin hari semakin parah. Warga berbondong melindungi masing-masing wilayah. Perempatan, pertigaan, hingga gang kecil mereka boikot. Lockdown mandiri.
Sementara kami?
Buka siapa-siapa. Kami hanya manusia yang menumpang keamanan di tanah rantau. Tak banyak yang bisa kami lakukan. Selain berdiam diri dan mencari solusi agar tetap dapat melanjutkan kehidupan.
Kami tak punya siapa-siapa. Selain teman sepernasiban. Kami tak punya panenan, ataupun cadangan makanan untuk bekal bertahan. Adapun tak banyak, hanya dapat berguna beberapa hari saja. Bahkan, ada bagian dari kami yang tidak memiliki fasilitas untuk memasak. Tempat kita bertahan, hanya terdiri dari kasur dan dipan.
Sesekali kami berfikir untuk tak mengindahkan peraturan. Kami ingin pulang, ingin mencari perlindungan di tanah kelahiran. Tapi faktanya, justru kami ditolak oleh masyarakat setempat. Kami dilarang pulang agar tidak menambah kekacauan. Kedatangan yang tak diharapkan.
Apa boleh buat, ini wujud kepedulian kami. Tetap bertahan di tanah perantauan demi melindungi orang-orang tersayang. Kami rela kesepian, menikmati ramadhan di tanah orang. Wahai kawan seperjuangan, bagi kalian yang telah menentukan pilihan untuk bertahan. Semoga dikuatkan. Bagi kalian yang memilih hendak pulang, coba difikir ulang. Jika tidak ingin terjadi apa-apa, sebaiknya bertahan saja.
Kami sama-sama berjuang. Di tanah rantau kami memilih bertahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar